Bayiku bukan Untukku

Pertama kali aku ke Panti Asuhan Abhimata, aku bertemu dengan seorang bayi perempuan mungil yang baru 1 hari tiba di panti itu. Usianya mungkin sekitar 3 bulan. Aku diizinkan menggendongnya oleh pengasuh disana, meski secara peraturan bayi dibawah usia 4 bulan tidak diperkenankan untuk digendong, karena nanti jadi “bau tangan” atau lebih suka digendong, sedangkan jumlah pengasuh di situ terbatas, sehingga tidak semuanya bisa digendong kalau para tamu sudah pulang.
Sudah cukup sering aku menggendong bayi. Mulai dari bayi saudara, teman, dan tetangga. Tetapi saat menggendong bayi ini, rasanya lain. Aku seperti mendapat firasat bahwa ini bayiku. Tetapi aku menepisnya dan tidak menganggapnya serius. Aku bermain-main dengannya selama waktu kunjungan hari itu. Aku juga bermain-main dengannya pada kunjungan berikutnya, dan berikutnya, sampai akhirnya aku betul-betul jatuh cinta padanya. Secara tidak langsung aku mengikuti perkembangannya meskipun tidak detail. Aku sering menggendongnya, sampai beberapa tamu lain mengira aku adalah ibu bayi itu. Bahkan beberapa mengatakan bahwa wajah kami mirip. Pasangan lain mengatakan bahwa anak itu selalu gembira bila aku datang dan kadang terlihat sedih bila aku tidak datang menjenguk lebih dari 1 minggu. Kegembiraannya seperti lepas. Hal yang membuatku semakin yakin bahwa bayi itu terlahir untukku.
Aku juga sempat mengajak keluargaku untuk melihat bayi mungil itu. Suamiku pun mengajak keluarganya  berkunjung ke panti asuhan tersebut. Persis seperti kunjungan ke rumah apabila ada yang baru melahirkan. Aku menganggapnya seperti anakku sendiri. Kubelikan dia baju natal dan boneka kecil. Aku memberinya susu dan menggantikan celananya yang basah. Kami sudah hampir yakin bahwa kami bisa mendapatkan bayi itu. Aku dan suamiku sudah yakin bahwa kami bisa mencintainya dengan tulus. Kami pun mengajukan permohonan kepada pengurus yayasan untuk mengadopsi dan aku juga memberitahu bayi yang sangat kami harapkan itu.
Waktu terus bergulir sampai akhirnya aku mendapatkan kabar akan permohonanku. Kami mendapat dua kabar sekaligus. Kabar baik, kami dinyatakan lulus ujian karena sudah bisa belajar mencintai anak-anak. Tetapi kabar buruk, bayi itu tidak bisa kami adopsi karena sesuatu hal. Waww, aku seperti kehilangan akal sehatku. Aku tidak mau kehilangannya. Kenapa semua yang kuinginkan dan kucintai tidak bisa kugenggam erat? Kenapa Tuhan tidak mengabulkan keinginan kami? Kenapa aku harus kembali kecewa dan kecewa? Aku mencintainya, Tuhan. Bahkan aku tahu kekurangannya. Gigi, pencernaan dan tulang kakinya tidak tumbuh dengan baik, sehingga dia masih makan makanan saring di usianya yang hampir 1 tahun dan belum bisa duduk sendiri. Aku tahu semuanya dan aku siap menerimanya. Kenapa???
Aku menangis hampir satu malam dan besoknya lagi. Kenapa hilang lagi harapanku! Seperti biasa, suamiku selalu datang dengan penghiburannya meski aku tahu dia juga sedih. Aku tidak tahu kenapa dia begitu mudah menghibur. Apakah dia tidak merasakan semuanya atau malah bisa menerima semuanya? ”Mungkin memang itu bukan untuk kita,” begitu katanya. ”Kita pilih yang lain aja, atau kalau tidak ada yang cocok, kita tunggu lagi aja. Mungkin sebentar lagi akan lahir anak kita.”